Sebelum menikah, rasanya ingiiiin sekali cepat-cepat menikah, gamau pisah sama pacar tersayang kita, maunya kalau bisa setiap saat bersama dengannya. Excited sekali rasanya ingin memulai kehidupan baru, persiapan pernikahan dari A sampai Z benar-benar direncanakan dengan matang, semua harus perfect, kerjaannya hanya urusin nikahan nikahan nikahan, sibuk perawatan diri, sibuk ketemu vendor, sibuk browsing. It feels like we are the luckiest woman in ths world. Memang benar sih kita beruntung bisa menikah, tapi bagaimana kesiapan kita sendiri? Bagaimana kehidupan kita berdua setelah menikah yang benar-benar lepas dari orang tua?
Saya benar-benar mengalami hal yang menurut saya "terberat" yang saya alami ketika menikah. Pindah ke rumah berdua, balada susah dapat ART, mengerjakan semua sendiri. Tinggal di Tangerang, dimana saya sudah terbiasa tinggal di Jakarta. Ya, saya tinggal di tangerang kota bukan tangerang pinggiran seperti BSD, Bintaro, Alam Sutera dsb. Well, tapi ini karena jarak dari rumah ke tempat usaha suami hanyalah 10 menit, berhubung saya sedang tidak bekerja karena hamil maka diputuskan tinggal disana supaya suami saya bisa dekat dan saya bisa menghabiskan waktu bersamanya lebih lama. Tapi, omongan keluarga, teman-teman kok semuanya kurang enak ya? Ko jauh banget sih tinggalnya, kok ini sih, kok itu sih.. Menurut saya, kenapa mereka harus berkomentar tanpa mereka tau alasan saya tinggal di Tangerang itu apa? Jika di suruh pilih saya tinggal di Jakarta tapi suami saya berangkat pagi - pulang jam 10 malam atau tinggal di Tangerang dengan suami saya berangkat kerja jam 10 pagi pulang jam 6 sore ya saya memilih untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan suami saya dong :)
Kemudian yang selanjutnya adalah jauh dari orang tua. Karena orang tua saya jauh dari rumah saya, jadi saya harus sangat bisa mandiri ya dari masak sendiri (mau sakit kek kalo ga masak ya ga makan), belanja sendiri, memikirkan makanan apa yang harus dimasak, bersih-bersih rumah sendiri, belajar tercukupi dengan uang bulanan dari suami (suami saya melarang keras menerima bantuan dari orang tua), tapi saya bersyukur memiliki suami yang sangat membantu untuk urusan rumah tangga dari bantu mencuci baju, menyetrika, cuci piring, menyapu, mengepel. Benar-benar saya merasakan perjuangan kami untuk berumah tangga disini.
Tapi adakalanya saat-saat saya sedih, kangen orang tua, kangen keramaian. Saat suami saya pergi kerja rasanya sepi sekali, biasanya di rumah orang tua banyak orang yang menemani saya tapi di rumah sendiri kesepian :( Saya berusaha mencari kesibukan, tapi karena kehamilan saya membutuhkan banyak istirahat bedrest, jadilah bosan sebosan bosannya tapi saya tidak mengeluh karena saya senang berarti saya bisa menjaga bayi saya dengan baik. Karena rasa kesepian saya ini, tidak jarang ini menjadi pemicu keributan saya dalam berumah tangga.
Jadi menurut pengalaman saya ini, menikah bukanlah hal yang hanya bersenang-senang dan bahagia. Sangat banyak up and down nya. Sebaiknya sebelum menikah kita mempersiapkan mental kita sebaik-baiknya, jadi ketika menikah diri kita benar-benar sudah siap. Siap menerima segala sesuatunya, bukan hanya mau menerima yang baik-baik saja dan menjadi pemurung, stress, kacau saat kita tidak bisa menerima hal buruknya. Kesiapan diri adalah kunci kesuksesan dari pernikahan.
Comments
Post a Comment